
Listrik Indonesia | Komisi VII DPR RI mulai membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT), beberapa isu penting yang diatur dalam RUU EBT ini antara lain terkait tarif, mekanisme pasar, pengembangan, dan penggunaan nuklir sebagai salah satu energi berkelanjutan. Tentu ini menjadi secercah asa demi kemajuan EBT di Indonesia.
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menyampaikan paparannya tentang urgensi pembentukan RUU tentang Energi Baru dan Terbarukan. Sugeng mengatakan, RUU EBT masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), sehingga dibahas terlebih dahulu. Komisi VII DPR RI menugaskan Pusat Perancang Undang-Undang Setjen DPR RI, bersama dengan Tenaga Ahli Komisi VII DPR RI untuk melakukan penyusunan draft Naskah Akademik RUU EBT.
“Dalam melakukan penyusunan RUU, Komisi VII DPR RI melibatkan pemangku kepentingan untuk memberikan masukan, pendapat, saran, dan pemikirannya guna memperkaya khasanah substansi RUU, sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal,” ucap Sugeng.
Jenis sumber energi dalam RUU ini dibagi menjadi dua yaitu Sumber Energi Baru dan Sumber Energi Baru Terbarukan. Terdiri dari 55 pasal, Rancangan UU ini mengatur mulai dari jenis energi baru dan terbarukan, perizinan, pengusahaan, penyediaan, pemanfaatan hingga harga, pendanaan, serta insentif maupun partisipasi masyarakat untuk pengembangan EBT.
Seperti kita ketahui dibuatnya RUU EBT dilihat dari urgensinya di mana peningkatan kebutuhan energi di Indonesia dari tahun ke tahun tidak dapat dihindari. Apalagi dengan laju pertumbuhan penduduknya sudah dapat dipastikan Indonesia akan membutuhkan lebih banyak energi di masa mendatang. Kondisi ini tentunya harus segera disiasati bersama.
Di samping itu, penggunaan EBT untuk kehidupan akan memberikan banyak manfaat, tidak hanya bagi lingkungan, namun juga untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Ini bisa dicapai saat EBT telah menjadi pengganti bagi energi fosil.
Pembahasan RUU EBT meliputi segala aspek, sekarang ini yang menjadi sorotan ialah tarif dan mekanisme pasar agar sektor EBT nasional cepat berkembang. Berdasarkan dokumen RUU EBT pada Pasal 46 dan 47 RUU EBT ini disebutkan bahwa energi baru dan terbarukan ditetapkan pemerintah pusat berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan dengan mempertimbangkan tingkat pengembalian yang wajar bagi badan usaha.
Soal tarif EBT misalkan disebutkan terdiri dari beberapa jenis yakni berupa tarif masukan berdasarkan jenis, karakteristik, teknologi, lokasi, dan atau kapasitas terpasang pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan. Harga indeks pasar bahan bakar nabati dan mekanisme lelang terbaik.
Anggota dari fraksi Partai Nasdem itu mengatakan, harga energi yang fluktuatif akan berdampak terhadap kebijakan yang perlu penyesuaian dengan cepat. “Apabila hal ini tidak dilakukan maka berdampak pada terbelenggunya kebijakan yang dibuat dan menimbulkan keresahan dimasyarakat,” kata Sugeng.
Pada sesi pembahasan beberapa pekan lalu, terjadi perdebatan soal pemanfaatan tenaga nuklir. Pada Pasal 6 RUU EBT ini disebutkan bahwa sumber energi baru terdiri atas nuklir dan sumber energi baru lainnya. Kemudian pada Pasal 7 dilanjutkan dengan penjelasan bahwa nuklir dimanfaatkan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VII bersama Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) pada Kamis (17/9/2020). Ketua METI Surya Dharma mengatakan, bahwa dengan judul RUU EBT, maka nuklir secara otomatis tidak diatur dalam beleid tersebut. Melainkan tetap terpisah dan diatur khusus dalam UU ketenaganukliran.
Menanggapi hal itu, Sugeng menyatakan, bahwa Komisi VII DPR RI membuka diri terhadap semua elemen masyarakat, para stakeholder, asosiasi, dan pelaku usaha yang ingin menyampaikan aspirasinya. “Komisi VII DPR RI mengajak semua pihak yang peduli terhadap energi bersih, energi baru dan terbarukan untuk melakukan sosialisasi secara massif tentang energi terbarukan kepada semua lapisan masyarakat, pengambil kebijakan, pelaku usaha, perbankan,dan lain-lainnya,” ujarnya.
Selain itu, draf RUU EBT sudah ada sejumlah instrumen positif yang dapat menciptakan mekanisme pasar dan permintaanya. Instrumen dimaksud seperti Standar Portofolio Energi Terbarukan (SPET) dan Sertifikat Energi Terbarukan (SET) yang bisa menciptakan dan mengakselerasi jumlah permintaan energi terbarukan yang selama beberapa tahun terakhir stagnan, bahkan menurun.
Lebih lanjut, Sugeng menjelaskan paradigma Kebijakan Energi Nasional (KEN), bahwa energi dimanfaatkan untuk modal pembangunan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan cara mengoptimalkan pemanfaatannya bagi pembangunan ekonomi nasional, penciptaan nilai tambah di dalam negeri dan penyerapan tenaga kerja.
“Peran EBT masih rendah, yaitu sebesar baru mencapai 8 persen, sedangkan target pada tahun 2025 adalah sebesar 23 persen. Untuk kondisi saat ini, energi terbarukan merupakan kebutuhan dalam rangka menjaga lingkungan dan keberlangsungan kehidupan. Oleh karenanya perlu adanya payung hukum yang kuat (Undang-Undang) untuk mengakselerasi pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia,” tuturnya.
Pembahasan RUU EBT menjadi sebuah asa atau harapan hadirnya payung hukum yang kuat untuk mendukung pengembangan EBT demi mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi nasional, serta komitmen Indonesia dalam menanggulangi dampak perubahan iklim.
Draft RUU ditargetkan sudah final, selesai menjadi RUU EBT pada akhir tahun nanti. Sehingga bisa segera dibahas bersama pemerintah. (Cr)
0 Komentar
Berikan komentar anda