Renewable Energy ENERGY PRIMER NEWS
Trending

Menakar Potensi Biomassa untuk Co-firing

Menakar Potensi Biomassa untuk Co-firing

Listrik Indonesia | Hingga Oktober 2021, terdapat 25 PLTU yang telah menjalankan program co-firing. Selanjutnya, sampai dengan tahun 2023 PLN menargetkan sebanyak 52 PLTU yang akan memakai teknologi co-firing.

Implementasi co-firing PLTU menghadapi tantangan, yaitu pasokan bahan baku biomassa yang masih belum stabil dan tantangan harga keekonomian dari biomassa. Kondisi ini tercermin dari realisasi serapan biomassa yang baru 195 ribu ton di September 2021 dari target 570 ribu ton pada akhir tahun nanti.

Dr. Irhan Febijanto, M.Eng dalam karya ilmiahnya menerangkan, potensi biomasa di Indonesia terdiri dari padi, jagung, kedelai, tebu, kelapa sawit, kelapa dan karet yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari hasil penelitian potensi limbah yang terdiri kelapa sawit (tankos, cangkang serabut), tebu (bagas), karet (kayu karet), kelapa (cangkang dan serabut), kayu (limbah kayu) ketela (limbah ketela), dan jagung (limbah jagung), nilai energi biomasa secara teoritis dapat dikonversi sebesar 268.619.875 MWh.

Dengan asumsi efisiensi pembangkit 25%, maka dapat dihasilkan energi listrik sebesar 67.154.969 MWh. Potensi teoritis ini memang sangat besar, dan ini didukung hasil penelitian yang sama di propinsi Riau tentang potensi energi limbah pertanian seperti padi (jerami dan sekam), ubi kayu (batang), jagung (batang dan tongkol) dan hasil perkebunan, kelapa sawit (cangkang, serabut, tankos, kernel dan POME/Palm Oil Mill Effluent), yang menunjukan potensi energi limbah biomasa sebesar 77.466.754,8 GJ, atau setara dengan 21.518.542,8 MWh. Dengan asumsi efisiensi pembangkit listrik 25%, maka energi yang dihasilkan dari pembangkit adalah 5.379.635,7 MWh/thn.

Dari hasil investigasi di lapangan, walau secara perhitungan teoritis potensi limbah biomasa sangat besar, kenyataan di lapangan menjelaskan bahwa potensi limbah di Indonesia dalam kondisi yang tersebar, dan membutuhkan waktu dan biaya dalam pengumpulannya. Hal ini berbeda dengan di Eropa dimana perkebunan/pertanian memiliki luasan lahan yang sangat luas, sedangkan di Indonesia jenis pertanian untuk padi, jagung, kedelai tidak ditanam pada lahan area kebun yang luas, sehingga pengumpulan limbah biomasa akan mengalami kesulitan dari segi biaya transport dan jarak transportasi.

Dalam penelitiannya, sampai saat ini Pembangkit biomasa di Indonesia yang terbesar, berkapasitas 10 MW, sehingga rencana co-firing untuk PLTU PT PLN akan merupakan pemanfaatan biomasa untuk pembangkit yang terbesar yang pernah ada di Indonesia. Konsep “pemanfaatan limbah biomasa yang tidak dimanfaatkan”, diperkirakan tidak akan mencukupi dari segi jumlah untuk mensuplai biomasa ke PLTU PT PLN secara berkelanjutan. Hal ini karena pandangan dan wawasan masyarakat dan industri sudah berubah semenjak implementasi Clean Development Mechanism sekitar tahun 2005.

Alternatif yang sangat memungkinkan untuk mensuplai biomasa untuk kebutuhan cofiring PLTU PLN adalah penanaman hutan produksi. Hal ini akan membuat suplai biomasa menjadi lebih terjamin karena adanya kontrak jangka panjang antara pengelola kebun dan PLTU. Kepastian pembelian ini sangat dibutuhkan untuk pengelola hutan produksi dalam mengembangkan infrastruktur seperti penanaman hutan yang terencana, infrastruktur akses dari hutan ke pabrik dan ke dermaga, pembangunan dermaga khusus loading biomasa kayu, serta sarana transportasi dari dermaga ke dermaga PLTU. Pembangunan infrastuktur ini dapat dilakukan sambil menunggu persiapan kebun energi siap panen. Pihak PLTU juga membutuhkan kepastian suplai biomasa kayu yang sesuai dengan kriteria kontrak yang berkelanjutan dalam jangka panjang.


Related Articles

0 Komentar

Berikan komentar anda

Back to top button