Emission & Carbon ENVIRO NEWS
Trending

Greenpeace Sebut 'Co-Firing' Solusi Semu PLTU

Greenpeace Sebut 'Co-Firing' Solusi Semu PLTU
PLTU Suralaya di Cilegon, Banten, berbasis batu bara [Foto: greenpeace.org - LISTRIK INDONESIA]

Listrik Indonesia - Jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) pada 2015 untuk pembangkit listrik, berdasar data inventori Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), sebesar 175,6 jt t-CO2 atau 67 persen total emisi GRK di sektor energi. 

Di antaranya, sumbangan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru bara sebesar 122.5 jt t-CO2 atau 70 persen  emisi GRK yang dikeluarkan seluruh pembangkit listrik. 

Pada 2028, emisi GRK dari PLTU diestimasikan meningkat hampir dua kali lipat, menjadi 351,3 jt t-CO2. Sedangkan emisi dari PLTU batubara meningkat mencapai 301,3 jt t-CO2.

Atas kondisi tersebut, salah satu langkah yang diambil pemerintah atau PT PLN (Persero) adalah mengurangi pemakaian batu bara di PLTU melalui co-firing.

BACA JUGA: PLN Targetkan Co-Firing 52 PLTU Hingga 2024

Langkah itu berupa pemanfaatan bahan bakar biomassa dan sampah. Melalui proses teknologi substitusi batu bara dengan bahan bakar energi baru terbarukan (EBT) dengan tetap memperhatikan kualitas pembakaran sesuai kebutuhan.

Bahan baku campuran co-firing adalah biomassa yang berasa dari sampah, antara lain cangkang sawit (palm kernel shell, PKS) dan beberapa material limbah lain yang diolah menjadi pellet. Selain ini ada pellet kayu hingga wood chip.

Grrenpeace Indonesia menilai upaya mengurangi emisi karbon melalui co-firing di PLTU sebagai langkah keliru. Co-firing merupakan "solusi semu". 

“Akar masalah besarnya emisi gas rumah kaca adalah keberadaan PLTU. Indonesia seharusnya langsung melakukan lompatan besar dari PLTU batu bara ke energi bersih dan terbarukan,” ujar Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari melalui rilis persnya. 

Dalam dokumen NDC (nationally determined contributions) Indonesia, sektor energi diproyeksikan sebagai  kontributor emisi terbesar pada 2030, menyusul setelahnya sektor kehutanan. 

Di sektor kelistrikan nasional, pembangkit batu bara masih mendominasi sebesar 62%. Jumlah PLTU-pun masih terus bertambah. Bentuknya memperbesar kapasitas PLTU yang sudah beroperasi (28.000 MW) maupun pembangunan PLTU baru (27.000 MW). 

BACA JUGA: Dorong EBT, PLN Sukses Uji Coba Co-Firing di PLTU Ropa Flores dan PLTU Bolok Kupang

Disebutkan, co-firing tidak berarti apa-apa terhadap emisi GRK. Porsi sampah dan limbah hasil hutan hanya 1-5 persen, sisanya (95 persen) tetap menggunakan batu bara. Berdasarkan penelitian, pencampuran 5 persen co-firing hanya akan mengurangi emisi GRK pada PLTU batu bara sebesar 5,4 persen. 

Mengutip data PLN sendiri, Greenpeaces Indonesia menyebutkan dibutuhkan lima juta ton wood pellet per tahun atau 738.000 ton pellet sampah per tahun hanya untuk memenuhi kebutuhan 1 persen co-firing per tahun pada 18.000 MW PLTU batu bara yang ada. 

Dengan target PLN untuk penerapan co-firing sebesar 10 persen maka volume sampah maupun PKS yang dibutuhkan akan lebih besar. 

Program co-firing dengan tujuan mengurangi emisi berbahaya dari PLTU batu bara, sebut saja polusi udara, tidak akan maksimal jika tidak ditopang pemakaian teknologi air pollution control (APC) yang baik.  Sementara penggunaan teknologi APC dipastikan mahal sebab ada biaya retrofit. (RE)


 

Related Articles

0 Komentar

Berikan komentar anda

Back to top button